Sabtu, 22 Juni 2013
SEJARAH TANAH KELAHIRAN KU
BANYAK orang yang mengatakan Tanoh Gayo
merupakan sekeping tanah surga yang
terlempar ke bumi. Mungkin hal ini diilhami
kondisi geografis yang mempesona serta di
dukung dengan hasil alam yang banyak
membuat mata dunia tertuju ke Tanoh Gayo
sekarang ini. Sebagai contoh: Kopi Gayo
merupakan jenis kopi terunik dan memiliki
varitas terbanyak di dunia. Getah pinus dari
tanah Gayo merupakan getah pinus terbaik di
dunia. Teh Gayo (baca:Redelong) pernah
sangat terkenal di Benua Eropa sebelum
meletusnya Perang Dunia karena rasanya yang
istimewa. Dan lain sebagainya.
Secara metafisika hal tersebut diatas sangat
mempengaruhi dan memiliki sifat menggerakan
atau mengsugesti para penghuni yang
menetap hidup di sekitarnya. Catatan sejarah
mencoret bahwa banyak orang–orang besar
lahir dari Tanoh Gayo. Raja Aceh I pertama
lahir dari belantara pedalaman tanoh Gayo.
Pendiri kerajaan Samudra Pasai dan sekaligus
sultan pertamanya juga dari tanoh Gayo yang
terkenal dengan sebutan Sultan Malikulsaleh
atau orang Gayo menyebutnya Merah Silu.
Pencipta logo Aceh (baca:Panca Cita ) juga
orang Gayo yaitu Khairul Bahri ( lihat Buku Gayo
Awards 72+…..Jema “ People of the Coffee”
yang akan diterbitkan oleh The Gayo Institute ).
Dan ketika dulunya orang Gayo masih
mengkonsumsi makan serba tradisonal, dari
Tanoh Gayo bisa melahirkan lebih kurang 17
orang mendapat gelar profesor, yang pada saat
itu secara kualitatif penduduk rakyat Gayo
masih sangat sedikit ( lihat Tabloid Gayo Post
“Gayo, Ukang Ogor – Ogoren” Edisi 04 April
2012 hal 14 )
Asal Usul Orang Gayo ?
Ratusan suku bangsa yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke, salah satunya
adalah suku Gayo. Suku ini merupakan salah
satu suku minoritas terbesar yang mendiami
wilayah Pemerintahan Aceh. Tepatnya
mendiami wilayah pedalaman Aceh.
Keberadaan tentang asal usul masyarakat
Gayo, yang mendiami gugusan pengunungan
Bukit Barisan atau pedalaman wilayah Aceh
itu. Sampai saat ini masih diselimuti “kabut
misteri“. Beberapa nara sumber, kadang–
kadang mempunyai pendapat yang bertolak
belakang antara satu dengan yang lainnya.
Tapi, sekarang setelah ada penelitian Arkelogi
di pedalaman Tanah Gayo, sedikit banyak
menjadi seberkas sinar menguak tabir
keberadaan suku Gayo.
Dari beberapa literatur tua yang penulis baca
dan hasil diskusi dengan beberapa pemerhati
sejarah Gayo dari beberapa disiplin keilmuan.
Penulis menyimpulkan bahwa nenak moyang
orang Gayo sekarang mulanya berasal dari
percampuran bangsa Veda dengan penganut
kebudayaan Austronesia atau terkenal dengan
sebutan Proto Melayu yang membawa
kebudayaan Neolithikum.
Menurut Teori Sarasin/bersaudara, bahwa
bangsa Veda awalnya mendiami wilayah Asia
Tenggara dan merupakan populasi pertama
yang mendiami kepulauan Indonesia dengan
genotif berkulit gelap dan berpostor kecil
bersifat pemalu (baca:Budaya Sumang dalam
Adat Gayo). Keturunan asli bangsa Veda yang
ada saat ini di yakini adalah suku Kubu yang
berada di Jambi. Sebahagian lagi berasimilasi
(baca: kawin silang ) dengan pendatang baru
yang masuk ke Pulau Sumatra (baca: Proto
Melayu ). Bangsa Veda yang asli musnah,
diperkirakan di sebabkan letus vulkanik gunung
krakatau yang memisahkan pulau Jawa dan
Sumatra.
Dalam berkembangan selanjutnya
percampuran genetik (baca: perkawinan ) dan
budaya antara bangsa Veda dengan kelompok
manusia Austronesia adalah cikal bekal
sebuah suku yang nantinya di sebut Gayo. Hal
ini diperkuat dengan diketemukannya gerapah
yang merupakan peralatan manusia kelompok
Austronesia dan kapak peralatan Bangsa Veda
( lihat Serambi Indonesia terbitan 27 November
2012 dengan judul “Arkeolog Temukan
Kerangka Manusia 2.000 tahun lalu”).
Ada pendapat yang mengatakan lebih ekstrem
lagi, bahwa suku Gayo merupakan suku kuno
yang masih tersisa. Hal ini diperkuat dengan
diketemukannya gerapah yang dulu berfungsi
sebagai tempat beras yang umurnya lebih tua
dari yang berada di Hindia, yang selama ini
diyakini sebagai daerah tempat asal muasal
padi. Dan apakah mungkin tanoh Gayo ini
merupakan tempat legenda benua yang hilang
itu? Hipotesa itu bisa mendekati sebuah
kebenaran, bila mengacu kepada diketemukan
adanya aktivitas di sekitar danau Laut Tawar
sekitar 7.000 tahun yang lalu ? (Lihat buku
“Gayo Merangkai Identitas”). Ada tulisan
selanjutnya yang sekarang masih dalam
proses mencari bandingan literatur mengupas
tentang hal tersebut berdasarkan analisi
konstruksi sejarah komparatif.
Dalam proses berjalannya roda kehidupan
sehari–hari dan untuk mencapai sebuah
tujuan. Akhirnya mereka membutuhkan sebuah
pimpinan yang bisa mengarahkan mereka
secara massal menuju satu tujuan yang sama
untuk memenuhi kebutuhan hidup (baca: lahir
batin). Akhirnya mereka membuat sebuah
perkumpulan yang sekarang kita kenal dengan
sebuah kerajaan yang diberi nama Linge.
Dari beberapa literatur, kata Linge berasal dari
kata Sangsekerta yang artinya kursi atau
kekuasaan. Dan dalam bahasa yang lebih tua
lagi, yaitu bahasa priya (baca; Hindu Kuno ),
Linge berarti persembahan. Sedangkan
pimpinannya dinamakan “Meurah” (baca:
sebutan untuk raja–raja kuno). Baru di periode
generasi selanjutnya setelah masuknya unsur
Islam (baca: era Masehi), pimpinannya diberi
gelar Sultan.
Ada sebahagian pendapat yang mengatakan
bahwa kata Linge artinya Linge wo siara (baca:
Suaranya Cuma Ada) yang dihubungkan,
katanya (baca: belum ada fakta yang
mendukung kebenaran itu) dengan kedatangan
pimpinan Gayo dahulunya yang hanya ada
suaranya, tapi wujudnya tidak nampak.
Menurut hemat penulis, itu bisa di sebut hanya
merupakan sebuah akal–akalan orang dahulu
untuk menutup ketidak tahuan sejarah
sebelumnya (baca: keterbatasan pemikiran ).
Artinya memutuskan mata rantai sejarah, yang
akhirnya ceritanya bersifat antah berantah.
Sedangkan sebutan kata Gayo diyakini muncul
setelah berdirinya kerajaan Linge. Artinya kata
Gayo ada setelah adanya sejarah. Hal ini sama
dengan kasus. Sebelum Jakarta, namanya
Jayakarta. Sebelum Jayakarta, namanya
Batavia. Sebelum Batavia, namanya Sunda
Kelapa. Sebelum Sunda Kelapa, namanya…..
Tapi, di daerah itu telah ada penghuninya. Jadi
sejarah manusianya dulu baru diberi namanya
atau manusia lahir dulu baru diberi nama,
bukan namanya dulu baru orangnya lahir.
Kata “Gayo“, menurut beberapa pakar, antara
lain di ungkapkan oleh seorang pakar yang
berasal dari Negara Brunai Darussalam, yaitu
Prof. Dr. Burhanuddin , mengatakan kata Gayo
dalam bahasa Melayu Brunai Darussalam dan
Malaysia adalah “ Indah“ dan kata ini hanya
pantas diungkapkan/dilontarkan pada saat–
saat upacara tertentu saja.
Menurut sebuah informasi yang di sampaikan
secara turun temurun dari satu genarasi Gayo
ke generasi Gayo selanjutnya (baca:
kekeberen/bhs Gayo). Bahwa kata Gayo
berasal dari kata “Garib “ atau “ Gaib “. Hal ini
dihubungkan dengan datangnya pertama kali
leluhur orang Gayo ke wilayah ini, yaitu ;
pemimpin rombangan yang datang tidak
nampak wujudnya tapi suaranya kedengaran.
Ada lagi yang menghubungkan kata Gayo
dengan “dagroian “ berasal dari kata–kata
“ drang– gayu “ yang artinya orang Gayo. Dan
ada juga menyebut dengan sebutan pegayon
yang artinya mata air yang jernih.
Hal diatas mungkin bisa kita anggap sebuah
kebenaran sementara. Kalau kita melihat dari
sudut lingguistik. Karena makanan yang
dikonsumsi berubah setiap generasinya, yang
pada akhir berpengaruh kepada konstruksi gigi
yang bisa mempengaruhi dialek suara.
Mereka pertama kali menetap di bagian pesisir
pulau sumatera. Seterusnya mereka bermigrasi
menyelusuri sungai–sungai yang berada di
pedalaman Aceh. Makanya setiap
perkampungan kuno, yang pasti berada
dipinggiran alur sungai, karena melalui
sungailah mereka bermigrasi.
Lalu bagaimana mereka ini masuk ke Tanoh
Gayo seperti saat ini, akan dikupas penulis
pada bagian kedua.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar